Surat Maulana Yaqub – Permasalahan Jamaah Tabligh dan Maulana Saad

Surat Maulana Yaqub (aka Maulana Ya’qub / Maulana Yakub / Maulana Yaqoob / Maulana Ya’kob) menceritakan permasalahan di Nizhamuddin dan Maulana Saad. Maulana Yaqub, adalah guru dari ayah Maulana Saad dan Maulana Saad, Maulana Harun. Maulana Yaqub telah memberikan 50 tahun hidupnya untuk kerja Dakwah.

Maulana Yaqub meninggal dunia pada 2019.

Surat Maulana Yaqub
Surat Maulana Yaqub
Maulana Yaqub

28th Agustus 2016

Dari Maulana Yaqub

Di Nizamuddin saya telah menggunakan masa lebih dari 15 tahun bersama Maulana Yusuf (Rah.) dan setelah itu hampir 30 tahun bersama Maulana Inamul Hasan (Rah.). Selama masa yang panjang 50 tahun tersebut, Allah telah merahmati saya dengan pertemanan yang penuh barokah dengan kedua ‘orang tua’ itu, dan saya telah berkesempatan, berulang kali, baik dalam khuruj maupun di Nizamuddin, menikmati masa bersama beliau-beliau. Allah swt. telah memberi kesempatan kepada saya mengambil bagian dalam usaha agama yang mulia ini di bawah bimbingan dan pengawasan kedua ‘orang tua’ itu.

Berdasarkan keikutsertaan saya yang terus-menerus ini, saya dapat menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa usaha ini sekarang telah diselewengkan dari jalur dimana usaha ini telah dibangun oleh para ‘orang tua’ pendahulu itu. Meskipun, tiga pendahulu dulu secara bulat suara diakui sebagai Amir di masa mereka masing-masing, namun mereka sendiri tidak pernah menuntut keamiran tersebut, dan tidak pernah berbicara dengan nada ‘penguasa’. Mereka tidak pernah memaksakan pandangan atau pendapat pribadi mereka. Mereka selalu mentaati musyawarah.

Hari ini, keadaan sudah benar-benar terbalik. Terdapat pemaksaan keamiran yang diproklamirkan diri sendiri, dan barangsiapa yang tidak menerimanya, akan dipaksa menerimanya dengan berbagai macam cara. Akibatnya, timbul kekacauan yang sedemikian rupa di dalam Nizamuddin sehingga berujung pertengkaran, caci maki, bahkan sampai penganiayaan yang brutal. Nizamuddin, yang dahulunya pusat untuk fikir Ummat, pusat islah diri dan persiapan akhirat, dimana setiap orang dapat menggapai sifat-sifat tersebut, suasana tempat
mulia ini telah berubah menjadi suasana menggunjing, kecurigaan, dan fitnah. Perencanaan terus-menerus dibuat untuk menjatuhkan dan menjelekkan siapa pun yang berupaya menjalankan usaha ini cara yang benar (Manhaj). Suatu gagasan sedang dipropagandakan kepada ummat bahwa keselamatan (dunia & akhirat) hanya dengan tunduk kepada Ameer (yang memproklamirkan dirinya sendiri) (tidak
mengapa selepas itu amal anda seperti apa). Jika anda tidak mau tunduk patuh, atau memiliki pendapat yang berbeda, kamu tidak akan selamat dunia/akhirat.

Suasana memperbaiki diri, persiapan untuk akhirat, dan pencapaian Fikr/risau Ummat telah menghilang dari Nizamuddin. Sebagai gantinya, suasana diktator, penguasa tunggal, dan keinginan manfaat duniawi telah diwujudkan.

Atas maksud baru ini sistim bai’at massal sudah ditetapkan. Padahal, Syura yang dibentuk selama hayatnya Hadratji Maulana In’amul Hassan (Rah.) secara bulat suara telah memutuskan dan menghentikan bai’at ini, bukti tertulis tersedia dengan tandatangan seluruh Syura itu yang dibentuk semasa hayat Hadratji (Rah.).

Inovasi-inovasi yang tidak ada selama masa kedua ‘orang tua’ dahulu, yang saat sedang disebarluaskan tanpa musyawarah adalah:

  • Pertama: ‘Da’wah-Taklim-istiqbal’, ini adalah istilah baru yang diada-adakan, yang tidak ada di zaman ‘orang tua’ da’wah kita sebelumnya. Sekalipun sekarang namanya dirubah menjadi ‘Tamer-e-masjid’ namun konsepnya sama, dan akibatnya kepentingan usaha harian dari pintu ke pintu dan jaulah umumi sudah menipis.
  • Kedua: Membatasi usaha atas ‘khawas’ dan berbagai ‘taqbat’ (kelompok khusus) dari Ummat ini, yang merupakan amalan yang lazim pada masa ‘orang tua’ kita. Para Khawas dan orang dari berbagai kelompok khusus itu, biasanya, lambat laun akan bergabung dalam amal maqomi di Masjid mereka masing-masing. Dalam upaya membatasi kerja atas kelompok khusus dan mengarahkan kerja kepada ide ‘tamere-masjid, telah disimpulkan penafsiran yang keliru terhadap Al-Quran, Hadith dan kehidupan para Sahabat.
  • Ketiga: Muntakhab Ahadith. Maulana Yusuf (Rah.) tidak pernah memberi indikasi, langsung maupun tidak langsung, untuk taklim ijtimaiyat dengan kitab ini. Terdapat upaya menyusup taklim ijtimaiyat dengan kitab Muntakhab Ahadith dengan sekaligus menggantikan dan menghilangkan taklim ijtimaiyat dengan kitab Fadhilah Amal dan Fadhilah Sedekah.
  • Keempat: Lima amal masturat.

Para ahbab dibuat bingung secara terus-menurus dengan ide-ide seperti ini. Barangsiapa yang tidak menyebarluaskan hal-hal tersebut, dan dimana saja hal-hal itu tidak di ikuti, semuanya dianggap melawan perintah Nizamuddin. Padahal, semua hal-hal baru ini mulai oleh hanya satu orang, iaitu Maulana Saad. Sekalian perkumpulan di Nizamuddin dikhususkan demi menyebarluaskan ide-ide ini. Nizamuddin telah diambil alih oleh sekelompok orang baru yang tidak mendapatkan kehormatan bertemu dan berkumpul bersama para ‘orang tua da’wah’ dan mereka ini hanya hari-hari sibuk mengacaukan kepahaman para ahbab da’wah. Mereka berkata, “Jangan mendengar para penanggung jawab propinsi / halaqah anda, karena orang itu tidak menyebarluaskan tertib baru yang ngetren dari Nizamuddin. Hatta jamaah-jamaah yang dikeluarkan diberi arahan untuk menyebarluaskan tertib baru ini.

Sebab inilah bayan hidayah di Nizamuddin dan Ijtima-Ijtima, hanya diberi tugas kepada mereka-mereka yang akan menyampaikan ide-ide baru ini. Ini telah mengakibatkan pecah hati di setiap tempat dan berkembang keadaan dengan dua kepahaman. Orang baru dalam usaha agama ini berpikir bahwa orang lama dan para penanggungjawab di daerahnya tidak mengikuti tertib Nizamuddin. Orang lama mengalami dilemma bagaimana caranya menjalankan tertib-tertib baru ini yang dimusyawarahkanpun tidak, tambah pula menyimpang dari asas-asas kerja sehingga sudah terseleweng dari pola kerja yang benar (manhaj).

Dimana-mana terjadi perpecahan, kekacauan dan kebingungan. Fikir Akhirat, kerisauan agama dan Ummat, perbaikan diri dan aspek tarbiyah yang menjadi ruh usaha ini dihilangkan.

Kini, Maulana Saad dikelilingi sekelompok orang yang tidak pernah ber-syu’bah dengan para ‘orang tua’ da’wah. Demi kepentingan pribadi mereka sendiri semata, kelompok ini membenarkan dan mengiyakan setiap ide baru yang muncul dari Maulana Saad sehingga beliau terus berada dalam kesalahpahaman terhadap usaha ini, yang tidak pernah menjadi kepahaman para ‘orang tua’ da’wah baik sekarang maupun dahulu.

Ketika Maulana Saad menjelaskan ide-ide barunya ini, beliau berkata bahwa beliau sedang menjelaskanya berdasarkan Al-Quran, Hadits dan Sirah dan ingin menegakkan usaha ini diatas Al-Quran, Hadith dan Sirah. Apakah ini berarti bahwa segala upaya dan usaha ‘orang tua’ kita dalam da’wah sebelumnya bukan dari Al-Quran, Hadith dan Sirah?

Kini, bayan-bayan bermuatan menyalahkan orang, mengkritik, merendahkan, nada penguasa, kesimpulan-kesimpulan dan penjelasan-penjelasan baru, yang berlawanan dengan pola ‘orang tua’ da’wah kita. Setiap hari ada saja ide baru yang dimunculkan. Para Ulama dan Mashaikh terkejut dan cemas, apa yang sedang terjadi? Jika usaha ini mengikuti arah seperti ini terus, maka tidak lama lagi para Ulama akan menentang usaha ini dan mereka-mereka yang memiliki kerisauan tinggi tentang keadaan Ummat akan terasingkan dan menjauh dari usaha ini.

Pada Bulan November 2015, di tengah kehadiran sekalian ahbab lama dari seluruh dunia, Syuro yang dibentuk pada zaman Hadratji (Rah.) telah dilengkapi demi menjaga ijtimaiyat dan manhaj usaha ini. Saya sendiri hadir disaat itu, namun saya terheran-heran kenapa Maulana Saad menolak penyempurnaan syuro ini tanpa alasan yang jelas.

Tidak ada satupun institusi Islam, baik bersifat pendidikan atau terkait bagaimanapun dengan komunitas muslim, atau suatu upaya berjamaah untuk kemaslahatan Ummat Islam yang dapat berfungsi atau bisa dijalankan tanpa pengawasan, tuntunan dan bimbingan dari majelis syuro. Merupakan situasi teramat kritis dan berbahaya menyerahkan usaha besar kepada satu orang untuk menjalankan usaha mulia ini menurut pemikirannya sendiri. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang terlepas dari kekurangan yang sejak awal ada pada kita semua ditambah mudharat godaan hawa nafsu.

Barangkali sebab itulah Maulana Ilyas (Rah.) berkata “Di masa akan datang, usaha ini akan dijalankan dibawa pengawasan Syuro” (rujukan “surat-surat terakhir Maulana Ilyas (rah.) yang disusun oleh Maulana Abul Hasan Ali Nadwi (Rah.)).

Saya menulis surat ini karena tanggung jawab dan takut saya kepada hisab dari Allah swt. Semoga Allah swt, mengampuni kita dan memberi kita Taufiq untuk mengerjakan usaha agama ini sesuai pola kerja dari ‘orang tua’ kita dan menyelamatkan kita dari inovasi-inovasi dalam usaha ini. Amin.

Wassalam

Hamba Muhammad Yaqub, Agustus 23, 2016.


Selanjutnya: Pelajari Sejarah Lengkap Jamaah Tabligh

Salinan Urdu:

blank
blank

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Facebook Facebook